Jumat, 23 November 2018

Bermazhab Syafi'i tapi Aqidahnya Asy'ari?


Bermazhab Syafi'i tapi Aqidahnya Asy'ari?

Banyak orang iseng bertanya kenapa mayoritas Muslimin yang mengaku bermazhab Syafi'iyah, seperti di Indonesia, namun aqidahnya justru Asy'ariyah? Kenapa tidak mengikuti aqidahnya Imam Syafi'i secara total?

Sebenarnya pertanyaan seperti itu timbul akibat salah paham terhadap manhaj aqidah Asy’ariyah. Pertanyaan itu dibangun dari asumsi bahwa aqidah Asy'ariyah berbeda dengan ajaran Imam Syafi'i, padahal faktanya tidak demikian sehingga pertanyaan itu sendiri yang seharusnya dipertanyakan. Namun berhubung banyak yang menanyakan pertanyaan salah tersebut, maka berikut ini jawabannya:

• Tak ada perbedaan prinsip antara aqidah Imam Syafi'i dan Imam Asy'ari. Kitab-kitab Asy'ariyah sendiri dan kitab Imam Syafi'i mengajarkan aqidah yang sama persis, kecuali dalam beberapa hal yang termasuk cabang (furû’).  Ulama Syafi'iyah menukil dari Imam Syafi'i bahwa Allah bukanlah jism, Allah tak boleh disifati duduk, sifat Allah harus diarahkan ke makna yang layak bagi-Nya. Ini adalah aqidah yang sama persis dengan ajaran Imam Asy'ari dan seluruh Asy’ariyah. Perbedaannya hanya terletak pada bab takwil di mana Imam Syafi'i dan kebanyakan ulama di masanya tergolong ahli tafwîdh (menyerahkan makna spesifiknya kepada Allah) sehingga biasanya menolak untuk mentakwil kebanyakan sifat. Dalam ajaran aqidah Asy’ariyah, baik tafwîdh maupun takwil dianggap sebagai pilihan yang benar. Keduanya adalah dua sikap yang valid dan punya dasar dari pernyataan para sahabat Nabi dan para ulama setelahnya.

• Fokus karangan Imam Syafi'i adalah bidang fiqih dan tak punya kitab khusus membahas aqidah secara komprehensif. Ini menyebabkan tak ada yang namanya mazhab aqidah Imam Syafi'i. Bila ada yang menggugat kenapa tidak mengikuti aqidah Imam Syafi'i, maka kitab beliau yang mana yang harus dijadikan pedoman utama? Ada kitab aqidah berjudul al-Fiqhul Akbar yang dinisbatkan pada Imam Syafi'i, isinya justru 100 persen Asy'ariyah. Tetapi sebab penganut Asy'ariyah dan Syafi'iyah cermat dan jujur secara ilmiah, maka kitab ini dinyatakan bukan karangan imam Syafi'i dan tak dipakai sebagai rujukan kecuali oleh sebagian kecil orang.

• Fokus karangan Imam Asy'ari adalah bidang aqidah dan tak mempunyai kitab fiqih yang komprehensif yang sampai pada kita. Ini menyebabkan tak ada mazhab fiqih Asy'ariyah. Berbeda kasusnya tentang tema aqidah; Imam Asy'ari menulis dan mengomentari semua sekte aqidah kaum muslimin yang ada pada saat itu, mulai dari Mujassimah yang menetapkan sifat fisik bagi Allah hingga Jahmiyah yang meniadakan seluruh sifat Allah agar tak bernuansa fisik; mulai Qadariyah yang mengatakan bahwa manusia bebas secara mutlak dalam bertindak, hingga Jabariyah yang mengatakan bahwa seluruh tindakan manusia itu atas “paksaan” kehendak Tuhan, semuanya tak luput dari koreksi imam besar ini. Dari sinilah kemudian para muridnya memunculkan istilah mazhab aqidah Asy'ariyah. Pada hakikatnya, ini bukanlah mazhab baru sebab kenyataannya justru mazhab ini muncul sebagai pembelaan terhadap aqidah para ulama salaf yang dikritik oleh sekte-sekte yang muncul belakangan di atas.

• Pertanyaan ini sama kasusnya dengan ketika seseorang merujuk pada Imam Bukhari dan lainnya dalam bab hadits, bukan ke kitab Musnad as-Syafi'i sebab musnad beliau tersebut terbatas sekali. Dalam bab biodata periwayat hadits (Rijâl al-Hadîts) kita merujuk pada penilaian Imam Yahya bin Ma'in, ad-Dzahabi dan lain-lain, bukan pada Imam Syafi'i sebab sedikit sekali penilaian beliau atas Rijâl al-Hadîts yang sampai pada kita. Dalam bab Tafsir kita merujuk pada Imam at-Thabary, al-Qurthuby dan lain-lain sebab tak satu pun kita dapati Imam Syafi'i menulis tafsir. Semuanya ini tidak bisa diartikan sebuah penyelewengan dari mazhab Syafi’i atau diasumsikan bahwa Imam Syafi’i berbeda pendapat dari tokoh-tokoh tersebut.

Jadi, dengan memilih ulama rujukan yang berbeda dalam tiap spesifikasi ilmu yang berbeda pula bukan berarti seseorang tidak konsisten, tetapi itu justru menunjukkan adanya keahlian memilih para ahli di bidangnya masing-masing. Hal ini juga menjadi bukti bahwa bermazhab itu tidaklah kaku dalam arti hanya membatasi diri dengan satu tokoh saja dalam segala hal. Tak ada satu pun ulama mazhab yang mengajarkan sikap kaku dan membatasi diri seperti ini sehingga para pengikut mazhab fiqih tetap leluasa merujuk tokoh manapun yang ia anggap argumennya paling kuat di spesialisasi ilmunya masing-masing. 

Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar