Sabtu, 31 Agustus 2019

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 28

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 28

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 28

كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ۖ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. 2:28)

Allah berfirman untuk menunjukkan keberadaan dan kekuasaan-Nya serta menegaskan bahwa Dialah Rabb Pencipta dan Pengatur hamba-hamba-Nya. Kaifa takfuruuna billaaHi (“Mengapa kamu kafir kepada Allah.”) Artinya, mengapa kamu merigingkari keberadaan-Nya atau menyekutukan-Nya dengan sesuatu. Wa kuntum amwaatan fa ahyaakum (“Padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidup kan kamu.”) Maksudnya, dahulu kamu tidak ada, lalu Dia mengeluarkan kamu ke alam wujud.

Ayat tersebut sama dengan firman Nya :
“Ya Rabb kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula).” (QS. Al-Mu’min: 11).

Mengenai firman Allah yang terakhir ini, dengan bersumber dari Ibnu Abbas, ad-Dhahhak mengatakan, “Dulu, sebelum Dia menciptakan kamu, kamu adalah tanah, dan inilah kematian. Kemudian Dia menghidupkan kamu sehingga terciptalah kamu, dan inilah kehidupan. Setelah itu Dia mematikan kamu kembali, sehingga kamu kembali ke alam kubur, dan itulah kematian yang kedua. Selanjutnya Dia akan membangkitkan kamu pada hari kiamat kelak, dan inilah kehidupan yang kedua.”

Demikian itulah dua kematian dan dua kehidupan. Dan itu merupakan pengertian firman-Nya tersebut: “Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal dahulu kamu mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali.”

Wallahu'alam Bisshowab

Kamis, 29 Agustus 2019

Mengusap Wajah Setelah Shalat

Mengusap Wajah Setelah Shalat

Salah satu kebiasaan yang sering kita lihat, setiap selesai mengucapkan salam dalam shalat, umat Islam mengusap wajah dengan kanannya. Hal ini didasarkan satu riwayat bahwa setelah bahwa Rasulullah SAW selalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.

عَنِ السَّائِبِ بْنِ يِزِيْدِ عَنْ أَبِيْهِ أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ -- سنن أبي داود

Dari Saib bin Yazid dari ayahnya, “Apabila Rasulullah SAW berdoa, beliau beliau selallu mengangkat kedua tangannya, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya." (HR Abu Dawud, 1275)

Begitu pula orang yang telah selesai melaksanakan shalat, ia juga disunnahkan mengusap wajah dengan kedua tangannya, sebab shalat secara bahasa berarti berdoa. Di dalam shalat terkandung doa-doa kepada Allah SWT Sang Khaliq. Sehingga orang yang mengerjakan shalat berarti juga sedang berdoa. Maka wajar jika setelah shalat ia juga disunnahkan untuk mengusap muka.

Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha dalam kitab I’anatut Thalibin menyatakan: Imam Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar, dan kami juga meriwayatkan hadits dalam kitab Ibnus Sunni dari Sahabat Anas bahwa Rasulullah SAW apabila selesai melaksanakan shalat, beliau mengusap wajahnya dengan tangan kanannya. Lalu berdoa:

أَشْهَدُ أَنْ لَا إلهَ إلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ اَللَّهُمَّ اذْهَبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ 

Saya bersaksi tiada Tuhan kecuali Dia Dzat Yang maha Pengasih dan penyayang. Ya Allah Hilangkan dariku kebingungan dan kesusahan." (I’anatut Thalibin, juz I, hal 184-185)

Hal ini menjadi bukti bahwa mengusap muka setelah shalat memang dianjurkan dalam Islam. Karena Nabi Muhammad SAW juga mengusap muka setelah shalat.


DZIKIR BERJAMAAH DENGAN SUARA KERAS

Berkumpul di suatu tempat untuk berdzikir bersama hukumnya adalah sunnah dan merupakan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hadits-hadits yang menunjukkan kesunnahan perkara ini banyak sekali, diantaranya.

مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوْا يَذْكُرُوْنَ اللهَ لَا يُرِيْدُوْنَ بِذَالِكَ إلَّا وَجْهَهُ تَعَالَى إلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ قُوْمُوْأ مَغْفُوْرًا لَكُمْ –أخرجه الطبراني

Tidaklah su<>atu kaum berkumpul untuk berdzikir dan tidak mengharap kecuali ridla Allah kecuali malaikat akan menyeru dari langit: Berdirilah kalian dalam keadaan terampuni dosa-dosa kalian. (HR Ath-Thabrani)

Sedangkan dalil yang menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara umum di antaranya adaah hadits qudsi berikut ini. Rasulullah SAW bersabda:

يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَناَ عِنْدَ ظَنِّي عّبْدِي بِي وَأنَا مَعَهُ عِنْدَ ذَكَرَنِي، فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرًا مِنْهُ –منقق عليه

Allah Ta’ala berfirman: Aku kuasa untuk berbuat seperti harapan hambaku terhadapku, dan aku senantiasa menjaganya dan memberinya taufiq serta pertolongan kepadanya jika ia menyebut namaku. Jika ia menyebut namaku dengan lirih Aku akan memberinya pahala dan rahmat dengan sembunyi-sembunyi, dan jika ia menyebutku secara berjamaah atau dengan suara keras maka aku akan menyebutnya di kalangan malaikat yang mulia. (HR Bukhari-Muslim)

Dzikir secara berjamaah juga sangat baik dilakukan setelah shalat. Para ulama menyepakati kesunnahan amalan ini. At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW ditanya:

أَيُّ دُعَاءٍ أَسْمَعُ؟

 “Apakah Doa yang paling dikabulkan?”

Rasulullah menjawab:

جَوْفُ اللَّيْلِ وَدُبُرُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ – قال الترمذي: حديث حسن

“Doa di tengah malam, dan seusai shalat fardlu."(At-Tirmidzi mengatakan, hadits ini hasan.

Dalil-dalil berikut ini menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara berjamaah setelah shalat secara khusus, di antaranya hadits Ibnu Abbas berkata:

كُنْتُ أَعْرِفُ إنْقِضَاءِ صَلَاةِ رَسُوْلِ اللهِ بِالتَّكْبِيْرِ – رواه البخاري ومسلم

Aku mengetahui selesainya shalat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)”. (HR Bukhari Muslim)

أَنَّ رَفْعَ الصّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ – رواه البخاري ومسلم

Mengeraskan suara dalam berdzikir ketika jamaah selesai shalat fardlu terjadi pada zaman Rasulullah. (HR Bukhari-Muslim)

Dalam sebuah riwayat al-Bukhari dan Muslim juga, Ibnu Abbas mengatakan:

كنت أعلم إذا انصرفوا بذالك إذا سمعته – رواه البخاري ومسلم

Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai shalat dengan mendengar suara berdikir yang keras itu. (HR Bukhari Muslim)

Hadits-hadits ini adalah dalil diperbolehkannya berdzikir dengan suara yang keras, tetapi tentunya tanpa berlebih-lebihan dalam mengeraskannya.

LAILATUL IJTIMA'

Bagi Orang NU, menyelenggarakan pertemuan tiap bualan itu biasa. Pertemuan itu dinamakan Lailatul Ijtima’. Lailah artinya malam, dan ijtima’artinya pertemuan. Artinya sebuah ”pertemuan malam" yang diselenggarakan di setiap bulan.

Awalnya ini adalah kebiasaan para kiai yang akhirnya menjadi kebiasaan orang-orang NU atau pengurus NU. Acara ini dimanfaatkan untuk membahas, memecahkan dan mencarikan solusi atas problem organisasi, mulai masalah iuran, menghadapi Ramadlan, Tarawih, menentukan awal Ramadlan, sampai menjalar ke masalah-masalah umat yang berat.<>

Lailatul Ijtima’ ini adalat ditemui mulai dari tingkat pengurus ranting (desa), tingkat majelis wakil cabang (kecamatan), tingkat cabang (kabupaten/kota), tingkat wilayah (provinsi), sampai pengurus besar.

Salah satu pembukaan dalam Lailatul Ijtima’ ini biasanya adalah pembacaan tahlil yang menjadi ciri khas orang NU, mengirim doa kepada arwah orang tua, para guru, semua kaum muslimin dan muslimat, khususnya para sesepuh pendiri NU yang telah wafat.

Pertemuan semacam ini berdasar pada, pertama:

وَفِي رِوَايَةِ البُخَارِي وَمُسْلِمٍ وَالتُّرْمُذِي وَالنَّسَائِي قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اَلدُّعَاءُ مُسْتَجَابٌ عِنْدَ اجْتِمَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ. وَفِيْ رِوَايَةٍ الدُّعَاءُ مُسْتَجَابٌ فِيْ مَجَالِسِ الذِّكْرِ وَعِنْدَ خَتْمِ الْقُرْآنِ. كَذَا فِيْ الْحِصْنِ الْحَصِيْنِ

Dari riwayat Bukhori, Muslim, Turmudzi, dan Nasa’i, Rasulullah SAW bersabda: Doa mustajab (dikabulkan) itu ketika berkumpulnya kaum muslimin. Di sebuah riwayat lain disebutkan: Doa mustajab itu ada di majels dzikir dan khataman Al-Qur-an. Demikian seperti dumuat dalam kitab Al-Hisnul Hasin. (Khozinatul Asror, hlm 140)

Dalil kedua:

وَالْحَقُّ أنَّ اْلمُؤْمِنَ إِذاَ اشْتَغَلَ فِيْ تِلْكَ الَّيْلَةِ الْخَاصَّتِ بِأّنْوَاءِ الْعِبَادَةِ مِنَ الصَّلَاتِ وَالتِّلَاوَةِ وَالذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ يَجُوْزُ وَلَا يُكْرَهُ

Orang-orang mukmin jika menyelenggarakan malam yang khas itu dan mengisinya dengan berbagai kegiatan seperti shalat, membaca Al-Qur’an, dzikir, dan doa, hukumnya boleh-boleh saja, tidak makruh. (Durratun Nasihin, Hlm 204)

Dalil ketiga,

اَلْعِبَادَةُ هُوَ فِعْلُ الْمُكَلَّفِ عَلَى خِلَافِ هَوَى نَفْسِهِ تَعْظِيْمًا لِرَبِّهِ

Ibadah adalah pekerjaan mukallaf melawan hawa nafsu demi mengagungkan asma Allah. (At-Ta’rifat lis Sayyid Ali bin Muhammad al-Jurjani, hlm. 128)

Wallahu'alam

Tahapan Perjalanan Ruh Mukmin hingga ke Alam Barzakh

Tahapan Perjalanan Ruh Mukmin hingga ke Alam Barzakh

Tak heran, setelah melihat kenikmatan yang menanti dirinya di negeri keabadian, seorang mukmin sampai meminta disegerakan Kiamat kepada Tuhannya.

Siapa pun yang yakin akan kematian dan peristiwa gaib lainnya tentu penasaran ingin mengetahui bagaimana nasib dan perjalanan dirinya kelak. Namun, tak seorang pun yang boleh menyandarkan berita gaib kecuali kepada nas Al-Qur’an dan hadits yang sahih. 

Berikut ini adalah sebuah hadits sahih yang memuat penjelasan memadai tentang perjalanan seorang mukmin sejak berhadapan dengan kematian sampai ditempatkan di liang lahat dan mendapatkan berbagai nikmat kubur.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Nasa’i, Ahmad al-Hakim, dan al-Thayalisi. Dikomentari oleh al-Hakim, “Hadits ini memenuhi kriteria al-Bukhari dan Muslim.” Pendapat ini pun diakui oleh al-Dzahabi. (Lihat: Dr. Sulaiman al-Asyqar, Al-Qishash al-Ghaib fi Shahih al-Hadits al-Nabawi, [Oman: Daru al-Nafa’is], 2007, cet. pertama, hal. 224). Berikut adalah intisari kisahnya:  

Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi bersama para sahabat mengantarkan jenazah seorang sahabat Anshar. Setibanya mereka di pemakaman, penggalian liang lahat belum usai. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun duduk di atas tanah sambil menghadap kiblat. Sementara para sahabatnya duduk di sekitarnya dengan tenang. Saking tenangnya, seakan-akan ada burung hinggap di atas kepala mereka.   
 

Melalui hadits ini, perawi hadits menggambarkan bagaimana keadaan di sekitar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu. Beliau mengambil sebuah kayu lalu mengorek-ngorek tanah. Kemudian, beliau melihat ke langit lalu menunduk. Tak lama, beliau melihat lagi ke langit kemudian menunduk. Hingga tiga kali. Setelah itu, beliau bersabda kepada para sahabat, “Memohonlah kalian (perlindungan) kepada Allah dari siksa kubur.” Sebanyak dua atau tiga kali. Lantas, beliau pun berdiri dan berdoa:

 

اَللَهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ 

 

Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur.” (Sebanyak tiga kali) 

 

Itulah doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sekaligus menjadi pembuka atas haditsnya yang panjang. Beliau menggambarkan kepada para sahabatnya bagaimana keadaan seorang hamba sejak ditemui kematian sampai dimasukkan ke dalam liang kuburnya, lalu ditinggalkan oleh keluarga, kolega, dan para sahabat. Lantas apa saja yang menimpa hamba tersebut setelah itu? 

Dikabarkannya bahwa manusia saat dijemput kematian terbagi menjadi dua golongan: ada yang beriman dan ada yang kufur. Dan perbedaan di antara keduanya sangat jauh dan mendasar.

Sesungguhnya, seorang hamba yang beriman, ketika hendak meninggalkan kehidupan dunianya dan memasuki kehidupan akhiratnya, akan didatangi para malaikat dari langit. Mereka datang dalam rupa terbaik dan akan menempati sebuah tempat tertentu, seraya mengenakan pakaian yang terbaik pula. Wajah mereka putih berseri-seri, seakan-akan mentari yang tengah bersinar. Di tangan mereka terdapat kain kafan dari surga untuk membungkus ruh sang hamba, lengkap dengan minyak wanginya yang akan mengharumkan ruh sang sang hamba tadi. Tampak terlihat mereka duduk sejauh pandangan mata. Bahkan, sebagian orang saleh bisa menceritakan kejadian yang disaksikannya itu, sementara orang-orang di sekitar mereka sama sekali tidak melihat apa-apa.  

Tak lama berselang, datanglah malaikat maut dan duduk dekat kepala sang hamba. Dia berkata kepada ruh si hamba: 

 

يا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلى رَبِّكِ راضِيَةً مَرْضِيَّةً

 

Wahai jiwa yang tenang…. Keluarlah kepada Tuhanmu dalam keadaan rida dan diridai,” (QS al-Fajr [89]: 27-28). 

 

Ruh pun tak bisa menunda perintah itu. Ia perlahan mengalir keluar dari jasad seperti keluarnya air yang bersih dan jernih dari mulut geriba air. 

Setelah ruh mukmin yang bersih dan jernih itu keluar, semua malaikat langit dan malaikat bumi menshalatkannya. Pintu-pintu langit dibuka. Setiap penduduk pintu berdoa kepada Allah dan memohon agar ruh hamba itu diangkat ke tempat mereka.   

Begitu ruh sang hamba berhasil dikeluarkan oleh tangan malaikat maut, maka para malaikat yang hadir menyaksikan kematian tidak membiarkan ruh itu sekejap mata pun. Mereka langsung mengambilnya dan meletakkannya di atas kain kafan dan minyak wangi yang mereka bawa dari surga. Demikian kematian yang digambarkan Allah dalam Al-Qur’an, Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat- malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya, (QS al-An‘am [6]: 61).

Setelah ruh terpisah dari jasad, terciumlah aroma semerbak wangi, sampai-sampai memenuhi dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah menggambarkan bagaimana aroma wangi ruh hamba tersebut, melalui sabdanya, “Aroma itu keluar dari ruh bagaikan minyak kesturi yang paling wangi yang pernah engkau temukan di muka bumi.”
 

Rupanya itu ruh yang selalu diharumkan dengan keimanan dan amal-amal saleh sewaktu di dunia.

Dan jejak aroma dari ruh itu jelas diketahui saat ruh tersebut keluar dari jasadnya dan tercium para malaikat. Bahkan, aroma wangi dari orang meninggal seperti itu tercium pula oleh sebagian orang saleh. Dapat dipastikan, aroma wangi itu salah satunya keluar dari ruh para syuhada. Sebab, banyak sekali kabar mutawatir, baik yang klasik maupun yang modern, tentang para syuhada yang jasadnya mengeluarkan aroma wangi yang tercium orang-orang yang masih hidup. Namun, terkadang ada pula aroma wangi yang lahir dari selain para syuhada. 

Setelah berhasil mengenggam ruh sang hamba, para malaikat langsung bertolak ke langit tertinggi. Di perjalanan, setiap berjumpa dengan kerumunan malaikat, mereka ditanya tentang bawaan ruh yang wangi sewangi minyak misik itu. Salah satu dari mereka menjawab, “Ini adalah ruh fulan bin fulan.” Tak lupa mereka menyebut nama ruh hamba itu dengan nama terbaik yang pernah mereka dengar di dunia.   

 
Setibanya di langit dunia, para malaikat pembawa ruh meminta izin kepada para penjaga langit. Setelah diizinkan masuk, mereka pun diikuti dan diantar para malaikat di langit dunia sampai ke langit berikutnya. Begitu seterusnya, hingga di langit ketujuh. Setiba di langit ketujuh, Rabbul ‘Izzati berfirman, “Tulislah oleh kalian nama hamba-Ku ini di ‘illiyyin,” sebagimana firman-Nya dalam Al-Qur’an:

وَمَا أَدْرَاكَ مَا عِلِّيُّونَ، كِتَابٌ مَرْقُومٌ، يَشْهَدُهُ الْمُقَرَّبُونَ 

"Tahukah kamu apakah 'Illiyyin itu? (Yaitu) kitab yang bertulis, yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah)," (QS al-Muthaffifîn [83]: 19-21).   

Maka ditulislah nama hamba tersebut pada ‘illiyyin. Lalu dikatakan kepada mereka: “Kembalikanlah dia ke bumi. Sebab, Aku berjanji kepada mereka: darinya Aku menciptakan mereka. Ke sana Aku mengembalikan mereka. Dan darinya Aku mengeluarkan mereka lagi.” 

 
Hal itu sebagaimana dilansir dalam Al-Qur’an: 

مِنْها خَلَقْناكُمْ وَفِيها نُعِيدُكُمْ وَمِنْها نُخْرِجُكُمْ تارَةً أُخْرى

Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kalian dan kepadanya Kami akan mengembalikan kalian dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kalian pada kali yang lain, (QS Thaha [20]: 55). 

Setelah melewati perjalanan langit dan namanya dicatat dalam illiyyin, ruh itu dikembalikan ke bumi dan dimasukkan lagi ke jasadnya. Sehingga, dia bisa mendengar kembali suara sandal kawan-kawannya yang berpaling meninggalkan kuburnya dan bertolak ke rumah masing-masing. 

Setelah ruh itu dikembalikan ke dalam jasad yang ada di dalam kubur, maka hanya Allah yang maha mengetahui cara mengembalikannya. Sebab, keadaan alam kubur atau alam barzakh tidak seperti keadaan di dunia. Selanjutnya, dia akan didatangi oleh dua malaikat yang berteriak keras dan kasar. Didudukkanlah hamba tersebut oleh mereka, lalu ditanya tentang empat hal. Pertanyaan pertama adalah tentang Tuhan yang disembahnya semasa di dunia. Keduanya bertanya, “Siapakah Tuhanmu?” Maka hamba itu menjawab, “Tuhanku adalah Allah.” Pertanyaan kedua adalah tentang agama yang dipeluk dan mengajarkan dirinya beribadah kepada Tuhannya. Maka hamba itu menjawab, “Agamaku adalah Islam.” Pertanyaan yang ketiga adalah tentang rasul yang diutus di tengah umat Islam dan menjadi panutannya. Maka dia akan menjawab, “Rasulku adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Dan pertanyaan yang keempat adalah tentang amal-amalnya semasa di dunia. Maka dia akan menjawab, “Aku membaca Kitabullah, beriman kepadanya, bersedekah, dan yang lainnya.”

Pertanyaan-pertanyaan di atas mencerminkan fitnah (ujian) kubur, sekaligus fitnah terakhir yang dihadapkan kepada seorang mukmin. Saat itu, tidak berguna sedikit pun kecerdasan, tipu daya, dan cara lain untuk menyelamatkan dirinya. Andai ada orang kafir yang menghafal jawaban-jawaban itu dengan benar di dunia, maka jawaban-jawaban tersebut tidak akan keluar sesuai dengan yang diinginkan. Sebab, orang yang diberi pertolongan untuk memberikan jawaban yang benar hanyalah orang mukmin yang ditetapkan Allah keimanan dan amal salehnya. Sehingga dia bisa menjawab dengan benar. Hal itu sejalan dengan firman-Nya:

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَياةِ الدُّنْيا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشاءُ

Artinya: "Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki," (QS Ibrahim [14]: 27).  

Di sanalah seorang hamba diuji dan diselamatkan dari ujiannya. Namun, itu semua berkat hidayah Allah dan keimanannya, sehingga bisa memberi jawaban yang benar sesuai dengan keadaannya semasa di dunia. Setelah itu, terdengar suara panggilan dari langit yang membenarkan apa yang disampaikannya, memerintah para malaikat untuk mengubah kuburannya menjadi salah satu taman surga. Lalu terdengarlah suara dari langit, “Hamba-Ku itu benar. Maka hamparkanlah sebuah taman dari surga untuknya. Berilah pakaian dari surga untuknya. Bukalah sebuah pintu ke surga untuknya.” Maka datanglah aroma wangi dari surga kepadanya. Dan dilapangkanlah kuburannya sejauh mata memandang.

 
Hilang seruan itu, datanglah kepada hamba tersebut seorang laki-laki atau seorang yang menyerupai sosok laki-laki. Laki-laki itu berwajah tampan, berpakaian bagus, dan beraroma wangi. Kemudian, laki-laki itu menyampaikan kabar gembira yang menenangkan hatinya. Dalam hadits ditegaskan, “Datanglah kepadanya seorang laki-laki berwajah tampan, berpakaian bagus, dan bertubuh wangi. Dia berkata, ‘Gembirakanlah dirimu dengan kabar yang menenangkanmu. Gembirakanlah dirimu dengan kabar tentang keridaan Allah dan surga-surga yang berisi aneka kenikmatan abadi di dalamnya. Inilah harimu yang dijanjikan kepadamu.’”

Sang hamba pun mencoba mencari tahu siapa sesungguhnya laki-laki yang memberikan kabar gembira kepada dirinya. Dia lalu bertanya, “Semoga Allah memberikan kabar baik kepadamu, siapakah engkau? Wajahmu adalah wajah yang membawa kebaikan.” 

Namun belakangan sang hamba tahu bahwa laki-laki pembawa kabar gembira adalah amal saleh yang pernah dikerjakannya selama di dunia. Sementara harta kekayaan, keluarga, dan anaknya tak lagi di sampingnya. Yang tertinggal adalah amal baik yang membawa kabar gembira baginya, menemani dirinya dalam kuburnya. Maka sosok yang diserupakan dengan sosok laki-laki itu menjawab, “Aku adalah amal salehmu. Demi Allah, aku tidak mengetahuimu kecuali dulu engkau bergegas menaati Allah. Namun, lamban dalam melakukan kemaksiatan. Semoga Allah membalas kebaikanmu.” 

Di samping itu, Allah juga menjelaskan bagaimana keadaan yang akan dihadapi seorang hamba pada hari Kiamat, baik hamba yang mukmin maupun hamba yang kufur. Bagaimana nasib mereka kelak pada hari itu berkat keimanan dan kesalehan masing-masing. Seperti yang diungkap dalam hadits, pada hari itu, sebuah pintu dari surga akan dibukakan untuk hamba yang mukmin. 

Sesungguhnya, seorang hamba mukmin akan mengetahui sejauh mana nikmat Allah kepada dirinya. Bagaimana pula keadaannya jika tidak ditunjukkan kepada jalan Islam setelah melihat tempatnya di dalam surga kenikmatan.

 
Karenanya tidaklah heran, setelah melihat kenikmatan yang menanti dirinya di negeri keabadian, seorang hamba sampai meminta disegerakan Kiamat kepada Tuhannya. Tujuannya agar dirinya bisa segera menempati negeri tersebut, menikmati apa yang dijanjikan Allah di dalamnya. Maka disampaikanlah kepadanya, “Tenanglah. Segala sesuatu telah ditetapkan waktunya. Ketika waktu itu datang maka apa yang ditetapkan Allah akan terjadi pasti terjadi.” 

Demikian yang terjadi pada seorang hamba mukmin mulai turun sakaratul maut (sekarat) untuknya hingga datang tuntutan untuknya agar senantiasa tenang dalam kubur sampai tiba waktu yang telah ditetapkan Allah (Kiamat), berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sahih. 

Wallahu a’lam

 

 

 

Khutbah Jumat: Keistimewaan Muharram dan Hikmah Hijrah

Khutbah Jumat: Keistimewaan Muharram dan Hikmah Hijrah

Muharram adalah satu di antara bulan-bulan yang mulia, yang diharamkan berperang di dalamnya.

Khutbah I

 

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهْ

 

 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ اللَّيْلِ عَلَى النَّهَارْ، تَذْكِرَةً لِأُولِى الْقُلُوْبِ وَالْأَبْصَارْ، وَتَبْصِرَةً لِّذَوِي الْأَلْبَابِ وَالْاِعْتِبَارْ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِٰلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهْ الْمَلِكُ الْغَفَّارْ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ  سَيِّدُ الْخَلاَئِقِ وَالْبَشَرْ. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَأٰلِهِ وَصَحْبِهِ الْأَطْهَارْ. أَمَّا بَعْدُ.

 

فَيَآأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ فِيْ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ،  بِسْمِ ٱللّٰهِ ٱلرَّحْمٰنِ ٱلرَّحِيمِ .

 

 إِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوا وَالَّذِيْنَ هَاجَرُوا وَجَٰهَدُوا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أُولَٓئِكَ يَرْجُوْنَ رَحْمَتَ اللهِۚ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ.

 

 

Saudara-saudara Kaum Muslimin, jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah,

 

Bulan Muharram adalah satu di antara bulan-bulan yang mulia (al-asyhur al-hurum), yang diharamkan berperang di bulan ini. Ia dipandang bulan yang utama setelah bulan Ramadhan. Oleh karenanya, kita disunnahkan berpuasa terutama pada hari ‘Asyura, yakni menurut pendapat mayoritas ulama, tanggal 10 Muharram. Di antara fadhilah bulan Muharram, adalah ia dipilih oleh Allah subhanahu wata’ala sebagai momen pengampunan umat Islam dari dosa dan kesalahan. 

 

Keistimewaan bulan Muharram ini lebih lanjut karena dipilih sebagai awal tahun dalam kalender Islam. Untuk itu, marilah kita bersama-sama mengulas kembali sejarah tahun baru Hijriah, yakni sejarah penanggalan atau penetapan kalender Islam, yang diawali dengan 1 Muharram. Mengapa para sahabat memilih bulan Muharram sebagai awal penanggalan Islam? 

 

Dalam kitab Shahih al-Bukhari, pada kitab Manâqib al-Anshâr (biografi orang-orang Anshar) pada Bab Sejarah Memulai Penanggalan, disebutkan, 

 

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ مَا عَدُّوْا مِنْ مَبْعَثِ النَّبِيِّ ﷺ وَلَا مِنْ وَفَاتِهِ مَا عَدُّوْا إِلَّا مِنْ مَقْدَمِهِ الْمَدِينَةَ.

 

“Dari Sahl bin Sa’d ia berkata: mereka (para sahabat) tidak menghitung (menjadikan penanggalan) mulai dari masa terutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula dari waktu wafatnya beliau, mereka menghitungnya mulai dari masa sampainya Nabi di Madinah”. 

 

Hal itu dilakukan meskipun tidak diketahui bulan kehadirannya itu, karena sejarah itu sebenarnya merupakan awal tahun. Sebagian sahabat berkata pada ‘Umar, ”Mulailah penanggalan itu dengan masa kenabian”; sebagian berkata: ”Mulailah penanggalan itu dengan waktu hijrahnya Nabi”. ‘Umar berkata, ”Hijrah itu memisahkan antara yang hak (kebenaran) dan yang batil, oleh karena itu jadikanlah hijrah itu untuk menandai kalender awal tahun Hijriah”. 

 

Ma’âsyiral muslimîn hafidhakumullâh,

 

Setelah para sahabat sepakat mengenai peristiwa hijrah dijadikan sebagai awal penanggalan Islam, ada sebagian sahabat yang berpendapat bahwa untuk awal bulan Hijriyah itu: ”Mulailah dengan bulan Ramadhan”, tetapi ‘Umar radliyallahu 'anh berpendapat: ”Mulailah dengan Muharram”, itu karena Muharram merupakan masa selesainya umat Islam dari menunaikan hajinya. Lalu disepakatilah tahun baru hijriah itu dimulai dengan bulan Muharram.

 

Ibn Hajar dalam kitab Fath al-Bârî Syarah Kitab Shahîh al-Bukhârî mengatakan bahwa: 

 

"Sebagian sahabat menghendaki awal tahun baru Islam itu dimulai dengan hijrahnya Nabi, itu sudah tepat. Ia melanjutkan, ada empat hal atau pendapat yang mungkin dapat dijadikan sebagai awal penanggalan Islam, yaitu masa kelahiran Nabi (maulid al-Nabi), masa diutusnya Nabi, masa hijrahnya Nabi, dan masa wafatnya Nabi. Tetapi pendapat yang diunggulkan adalah menjadikan awal tahun baru itu dimulai dengan hijrah karena masa maulid dan masa kenabian itu keduanya tidaklah terlepas dari kontradiksi atau pertentangan pendapat dalam menentukan tahun. Adapun waktu wafatnya beliau itu, banyak tidak dikehendaki oleh para sahabat untuk dijadikan sebagai awal tahun, karena mengingat masa wafatnya Nabi justru menjadikan kesedihan bagi umat. Jadi kemudian pendapat dan pilihan itu jatuh pada peristiwa hijrah. Kemudian mengenai tidak dipilihnya bulan Rabiul Awal sebagai awal tahun tetapi justru dipilih bulan Muharram sebagai awal tahun karena awal komitmen berhijrah itu ada pada bulan Muharram, sehingga cocoklah hilal atau awal bulan Muharram itu dijadikan sebagai awal tahun baru Islam.” 

 

Ma’âsyiral muslimîn hafidhakumullâh,

 

Menurut satu pendapat, ada banyak hikmah dipilihnya peristiwa hijrah sebagai penanda Kalender Islam, Tahun Baru Hijriah. Di antaranya adalah dengan peristiwa hijrah itu, umat Islam mengalami pergeseran dan peralihan status: dari umat yang lemah kepada umat yang kuat; dari perceraiberaian atau perpecahan kepada kesatuan negara; dari siksaan yang dihadapi mereka dalam mempertahankan agama kepada dakwah dengan hikmah dan penyebaran agama; dari ketakutan disertai dengan kesukaran kepada kekuatan dan pertolongan yang menenteramkan; dan dari kesamaran kepada keterang-benderangan. Di samping itu, dengan adanya hijrah itu terjadi peristiwa sungguh penting antara lain, perang Badar, Uhud, Khandaq dan Perjanjian Hudaibiyah (Shulh al-Hudaibiyah), dan setelah 8 (delapan) tahun Nabi shallallahu 'alaihi wasallam hijrah di Madinah, beliau kembali ke Makkah al-Mukarramah dengan membawa kemenangan yang dikenal dengan Fath Makkah. Itulah peristiwa-peristiwa yang penting kita ingat. Oleh karena itulah, Al-Quran menjadikan hijrah itu sebagai sebuah pertolongan. Al-Quran mengingatkan kita:

 

إِلَّۗا تَنْصُرُوْهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُوْلُ لِصَٰحِبِهِۦ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللهَ مَعَنَاۖ فَأَنْزَلَ اللهُ سَكِيْنَتَهٗ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهٗ بِجُنُوْدٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا السُّفْلَٰىۗ وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَاۗ وَاللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ.

 

“Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Mekah); sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika itu dia berkata kepada sahabatnya: ”Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Muhammad) dan membantu dengan bala tentara (malaikat-malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah. Dan firman Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa Mahabijaksana” (QS. Al-Taubah [9]: 40).

 

Allah pun telah memuji orang-orang yang berhijrah, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. setelah hari kemenangan Fath Makkah bersabda: 

 

لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوْا (مُتَّفّقٌ عَلَيْه). وَمَعْنَاهُ:لاَ هِجْرَةَ مِنْ مَكَّةَ لِأَنَّهَا صَارَتْ دَارَ إِسْلاَمٍ.

 

”Tidak ada hijrah setelah penaklukan kota Makkah, akan tetapi jihad dan niat, dan jika kalian diminta untuk pergi berjihad maka pergilah” (Muttafaq ‘alaih dari jalur ‘Aisyah radliyallahu ‘anha) Maknanya: Tidak ada hijrah dari Makkah karena dia telah menjadi negeri Islam. 

 

Hijrahnya Rasul dari Makkah ke Madinah yang terjadi pada tahun 622 M., bukanlah sekadar peristiwa dalam sejarah Islam, tetapi banyak petuah dan pelajaran berharga bagi kita, yang terpenting di antaranya adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika keluar dari Makkah berhijrah menuju Madinah itu tidaklah dalam keadaan membenci penduduk Makkah, justru beliau cinta kepada penduduk Makkah. Oleh karena itu ketika beliau keluar meninggalkan Makkah beliau berkata: 

 

وَاللهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللهِ وَأَحَبُّ أَرْضِ اللهِ إِلَى اللهِ، وَلَوْلَا أَنِّيْ أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ (رواه الترميذي والنسائي عن عبد الله بن عدي بن حمراء رضي الله عنه)

 

Artinya ”Demi Allah, sungguh kamu (Makkah) adalah sebaik-baik bumi Allah, dan bumi Allah yang paling dicintai Allah, seandainya aku tidak dikeluarkan darimu (Makkah) maka tiadalah aku keluar --darimu.” (HR. al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibn Mâjah dll, dari ‘Abdullâh bin ‘Addî bin Hamrâ’ radliyallahu ‘anhum). 

 

Ini menunjukkan betapa kecintaan beliau kepada Makkah dan penduduk Makkah, sebagaimana maqalah populer menyatakan hubbul wathan minal iman, cinta tanah air adalah ekspresi kesempurnaan iman.

 

Dan satu hal yang penting dalam hijrah adalah bahwa hijrah itu adalah bermakna luas, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang mulia bahwa: 

 

وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ (رواه البخاري)

 

Artinya: ”Orang yang berhijrah itu adalah orang yang berhijrah, meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah” (HR. al-Bukhârî). 

 

Hijrah di sini bermakna luas, meninggalkan adat atau tradisi fanatisme kesukuan, dan menegaskan hijrah itu meninggalkan dari segala yang dilarang oleh Allah dan yang di dalamnya membahayakan manusia.

 

Ma’âsyiral muslimîn hafidhakumullâh,

 

Berdasarkan keterangan tersebut, dapat diambil kesimpulan berkaitan dengan memuliakan bulan Muharram dan memperingati tahun baru Hijrah. Bahwa  dalam memuliakan dan memperingati tahun baru Hijriah harus memperhatikan hikmah atau pelajaran yang berharga dari peristiwa hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, yang dapat disebutkan dalam tujuh poin penting berikut ini:

 

1. Hijrah itu adalah perpindahan dari keadaan yang kurang mendukung dakwah kepada keadaan yang mendukung.

 

2. Hijrah itu adalah perjuangan untuk suatu tujuan yang mulia, karenanya memerlukan kesabaran dan pengorbanan.

 

3. Hijrah itu adalah ibadah, karenanya motivasi atau niat adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan.

 

4. Hijrah itu harus untuk persatuan dan kesatuan, bukan perpecahan.

 

5. Hijrah itu adalah jalan untuk mencapai kemenangan.

 

6. Hijrah itu mendatangkan rezeki dan rahmat Allah.

 

7. Hijrah itu adalah teladan Nabi dan para sahabat yang mulia, yang seyogianya kita ikuti.

 

Kaum muslimin yang dikasihi Allah,

 

Demikianlah keistimewaan bulan Muharram dan poin-poin penting dari hikmah hijrah. Sebagai penutup khutbah ini, marilah kita renungkan firman Allah dalam surat al-Anfâl (8) ayat 74:

 

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَهَاجَرُوْا وَجَاهَدُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَالَّذِيْنَ اٰوَوْا وَنَصَرُوْاۧ أُوْلَٓئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ حَقًّاۗ لَّهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيْمٌ.

 

Artinya: Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi  pertolongan (kepada orang muhajirin), mereka itulah orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia.

 

Demikian khutbah ini semoga bermanfaat. Semoga kita, keluarga kita, masyarakat kita, dan bangsa kita Indonesia, dapat berhijrah kepada kebaikan dan kemuliaan. Amin. 

 

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ بِاْلُقْرءَانِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بمَا  فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

 

Khutbah II

 

نَحْمَدُ اللهَ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ، وَنَعُوْذُ بِهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئاَتِ أَعْمَالِنَا. أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِٰلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهْ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.  اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةْ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ مِنْ يَوْمِنَا هَذَا إِلَى يَوْمِ النَّهْضَةْ . أَمَّا بَعْدُ. أَيُّهَا النَّاسُ! أُوْصِيْكُمْ بتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

 

فَقَالَ تَعَالَى مُخْبِرًا وَأٰمِرًا: إِنَّ اللهَ وَمَلَآئِكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.

 

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى أٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ  وَبَارَكْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى أٰلِ سَيِّدِنَا إِبْراهَيْمَ فِي الْعٰلَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، بِرَحْمَتِكَ يَآ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ....

 

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالمْؤُمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ إِنَّكَ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ يَا قَاضِيَ الْحاَجاَتِ. اَللّٰهُمَّ أَعِزَّ الِإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ. اَللّٰهُمَّ أَصْلِحْ وُلاَةَ الْمُسْلِمِيْنَ بِمَا فِيْهِ صَلاَحُ الِإِسْلاَمِ وَالْمُسْلِمِيْنَ. رَبَّنَا أتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّءْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا. رَبَّناَ لاَ تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ اِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا. رَبَّنَا أتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَّقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

 

عِبَادَ اللهْ! إِنَّ اللهَ يَعْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاۤءِ ذِي اْلقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ اْلفَخْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ،  فَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمٍ يَّزِدْكُمْ وَاسْئَلُوْا مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.

 

Mengenal Istri-istri Rasulullah Muhammad SAW

Mengenal Istri-istri Rasulullah Muhammad SAW

SELAMA Nabi Muhammad ﷺ hidup, beliau pernah menikahi tiga belas wanita. Semuanya janda, kecuali A’isyah binti Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhuma. Berikut ini adalah daftar nama yang dinukil dari Ibnu Hisyam dalam karya berjudul “al-Sīrah al-Nabawiyyah” (1955: II/643).

PertamaKhadijah binti Khuwailid. Maharnya waktu itu 20 ekor unta. Dalam catatan sirah yang masyhur, beliau menikahi Khadijah pada usia 25 tahun. Sementara Khadijah sendiri umurnya saat itu 40 tahun. Namun, Dr. Akram al-‘Umary dalam buku “Mā Syā’a walam Yatsbut fī al-Sīrah al-Nabawiyyah” (2007: 19) menguatkan riwayat Ibnu Ishaq yang menyatakan bahwa usia Khadijah ketika nikah adalah 28 tahun.

Menariknya, selama nabi bersama Khadijah, tidak ada satupun wanita yang dinikahi beliau. Seluruh potensi dan masa-masa terbaik saat muda serta produktifitas beliau dihabiskan  bersamanya. Dengannya nabi dikarunai enam anak: Abdullah, Al-Qasim, Zainab, Ruqayyah, Fathimah dan Ummi Kaltsum.Beserta istri pertamanya ini pula, perjuangan berat di Makkah bisa dilalui dengan ketabahan dan kesabaran.

KeduaSaudah binti Zam’ah. Sebelum dengan Nabi, suaminya bernama Sakran bin Amru. Ketika suaminya wafat, beliau dinikahi nabi. Mahar yang diberikan kepada beliau waktu nikah adalah 400 dirham. Saudah dinikahi ketika usianya sudah enam puluhan.

KetigaAisyah binti Abu Bakar. Dinikahi di Makkah setelah Khadijah meninggal ketika berusia tujuh tahun. Dan baru digauli ketika di Madinah saat berusia 9 tahun. Namun, menurut Abbas Mahmud Aqqad dalam “aṣ-Ṣiddīqah Binti aṣ-Ṣiddīq” (49) umur Aisyah ketika berbulan madu dengan Nabi tidak kurang dari 12 tahun dan tak lebih dari 15 tahun. Ini dikuatkan dengan riwayat Ibnu Sa’ad yang menerangkan bahwa Aisyah dilamar pada usia 9 tahun dan bulan madu pada usia sudah baligh (15 tahun).

Ketika itu, maharnya saat itu 400 dirham. Dengan Aisyah, hidup nabi sangat bewarna dan romantis. Bila Khadijah adalah wanita dewasa yang keibuan maka sebaliknya Aisyah adalah wanita muda yang energik, lincah dan cantik. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai istri nabi yang intelektualitasnnya sangat tinggi.

Beliau termasuk sahabat yang banyak meriwayatkan hadits. Dr. Mahmud Ṭahhan dalam “Taisīr Muṣṭalah al-Hadīts” (2004: 244) menempatkannya sebagai sahabat dalam urutan keempat  yang paling banyak meriwayatkan hadits. Jumlahnya: 2210. Dengan beliau Rasulullah tak memiliki anak.

KeempatZainab binti Jahsyin. Zainab adalah mantan istri Zaid bin Haritsah. Waktu itu mahar yang diberikan Rasulullah adalah 400 dirham. Dengan beliau Rasulullah tak memiliki anak.

KelimaUmmu Salamah binti Abu Umayyah. Sebelum dengan Rasulullah, ia adalah istri sahabat yang syahid bernama Salamah bin Abi Salamah. Waktu itu mahar yang diberikan: kasur yang isinya serabut, anak panah , sehelai kain dan penggiling dari batu. Dengan beliau Rasulullah tak memiliki anak.

KeenamHafshah binti Umar. Yang menikahkan kala itu adalah Umar bin Khattab sendiri. Mahar yang diberikan adalah 400 dirham. Sebelumnya, Hafshah adalah istri dari Khunais bin Hudzafah as-Sahmy. Dengan beliau Rasulullah tak memiliki anak.

KetujuhUmmu Habibah binti Abu Sufyan. Istri nabi yang memiliki nama asli Ramlah ini nikah dengan Rasulullah saat masih berada di tanah hijrah Habasyah. Yang menjadi walinya saat itu adalah Khalid bin Sa’id bin Ash. Maharnya diberikan Najasyi untuk Rasulullah ﷺ sebersar 400 dinar. Sebelumnya, Ummu Habibah adalah istri Ubaidillah bin Jahsyin. Dengan beliau Rasulullah tak memiliki anak. Demikian juga dengan istri-istri lainnya.

KedelapanJuwairiyah binti Harits. Sebelum dinikahi, ia adalah masuk tawanan perang. Kabilahnya berasal dari Yahudi. Beliau dinikahi nabi dengan mahar 400 dirham. Sebelum dengan nabi, suaminya bernama Abdullah. Dengan beliau Rasulullah ﷺ tak memiliki anak.

Kesembilan, Shafiyah binti Huyay bin Akhtub. Merupakan wanita anak tokoh Yahudi yang menjadi tawanan di perang Khaibar. Saat menikah, nabi mengadakan walimah. Sebelum dengan nabi, dia adalah istri dari Kinanah bin Rabi’ bin Abi Huqaiq.


Istri yang lain yang pernah dinikahi Rasulullah ﷺ adalah Maimunah binti Harits  maharnya 400 dirham yang diberikan untuk Rasulullah oleh Abbas dan Zainab binti Huzaimah yang juga diberi mahar 400 dirham. Itulah istri-istri yang pernah dinikahi dan digauli oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ketika beliau masih hidup, istri yang meninggal adalah Khadijah dan Zainab binti Khuzaimah. Sedangkan ketika beliau wafat, meninggalkan 9 istri. Sementara itu ada dua istri yang belum pernah digauli kemudian dicerai karena cacat yaitu Asma binti Nu’man dan Amrah binti Yazid yang dicerai akibat perilaku buruk.

Bila diperhatikan, poligami yang dilakukan nabi bukan untuk memenuhi hawa nafsu. Buktinya, dari seluruh isterinya yang perawan hanya satu dan sisanya adalah janda dan semua tidak mempunyai anak, kecuali Khadijah.

Karena itulah, Abbas Mahmud Aqqad dalam “Abqariyyah Muhammad” (108-109) berkata: “Seandainya hanya kenikmatan seksual yang menjadi motif pernikahan Nabi, maka untuk memenuhinya, beliau akan mempoligami 9 istri yang masih muda, prawan yang terkenal cantik di Makkah, Madinah dan di jazirah Arab. Satu-satunya perawan yang dinikahi adalah ‘Aisyah binti Abu Bakar. Itupun pada awalnya ditawarkan oleh istri Utsman bin Madz’un sepeninggal Khadijah.”

Waallohu'alam

Kisah Khadijah Istri Rasulullah – Istri Pertama Nabi Muhammad

Kisah Khadijah Istri Rasulullah – Istri Pertama Nabi Muhammad

Wanita sholehah itu bernama Khadijah, nama lengkapnya Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai, ia berasal dari golongan pembesar di Mekkah. Khadijah al-Kubra memiliki ayah bernama Khuwailid bin Asad dan ibunya bernama Fatimah binti Za’idah, ia berasal dari kabilah Bani Asad dari suku Quraisy.

Pada suatu hari, saat masih pagi buta, dengan penuh kegembiraan Khadijah pergi ke rumah sepupunya yang bernama Waraqah bin Naufal. Khadijah berkata, “Tadi malam aku bermimpi sangat menakjubkan. Aku melihat matahari berputar-putar di atas kota Mekkah, lalu turun ke arah bumi. Ia semakin mendekat dan semakin mendekat. Aku terus memperhatikannya untuk melihat kemana ia turun. Ternyata ia turun dan memasuki rumahku. Cahayanya yang sangat agung itu membuatku tertegun. Lalu aku terbangun dari tidurku”.

Kemudian Waraqah mengatakan, “Aku sampaikan berita gembira kepadamu, bahwa seorang lelaki agung dan mulia akan datang meminangmu. Ia memiliki kedudukan penting dan kemasyhuran yang semakin hari semakin meningkat”. Tidak lama kemudian Khadijah ditakdirkan menjadi isteri Nabi Muhammad.

Ketika Nabi Muhammad masih muda dan dikenal sebagai pemuda yang lurus dan jujur sehingga Muhammad mendapat julukan Al-Amin, telah diperkenankan untuk ikut menjualkan barang dagangan milik Khadijah. Hal yang lebih banyak menarik perhatian Khadijah adalah kemuliaan jiwa Nabi Muhammad.

Yang menarik dari pernikahan antara Nabi Muhammad dan Khadijah adalah Khadijah lah yang lebih dahulu mengajukan permohonan untuk meminang Beliau, Padahal pada saat itu bangsa Arab jahiliyah memiliki adat, pantang bagi seorang wanita untuk meminang pria dan semua itu terjadi dengan adanya usaha orang ketiga, yaitu Nafisah Binti Munyah dan peminangan dibuat melalui paman Muhammad yaitu Abu Thalib. Keluarga terdekat Khadijah tidak menyetujui rencana pernikahan ini. Namun Khadijah sudah tertarik oleh kejujuran, kebersihan dan sifat-sifat istimewa Beliau ini, sehingga ia tidak memperduliakan segala kritikan dan kecaman dari keluarga dan kerabatnya.

Kisah Khadijah istri Rasulullah – Khadijah juga merupakan wanita yang cerdas, mengenai ketertarikannya kepada Nabi Muhammad ia mengatakan, “Jika segala kenikmatan hidup diserahkan kepadaku, dunia dan kekuasaan para raja Persia dan Romawi diberikan kepadaku, tetapi aku tidak hidup bersamamu, maka semua itu bagiku tak lebih berharga daripada sebelah sayap seekor nyamuk”

Khadijah menikah dengan Nabi Muhammad, ketika berumur 40 tahun, sedangkan Nabi Muhammad saat ini masih berumur 25 tahun. Ada yang mengatakan usianya saat itu tidak sampai 40 tahun, hanya sedikit lebih tua dari Nabi Muhammad. Khadijah merupakan wanita kaya dan juga terkenal. Khadijah dapat hidup mewah dengan hartanya sendiri. Meskipun memiliki kekayaan melimpah, Khadijah merasa kesepian hidup menyendiri tanpa suami, karena suami pertama dan keduanya telah meninggal. Namun ada beberapa sumber menyangkal bahwa Khadijah pernah menikah sebelum bertemu Nabi Muhammad.

Kisah Khadijah istri Rasulullah, Sewaktu malaikat turun membawa wahyu kepada Muhammad maka Khadijah adalah orang pertama yang mengakui kenabian suaminya, dan wanita pertama yang memeluk Islam, sehingga ia termasuk as-Sabiqun al-Awwalun (orang pertama yang memeluk islam). Sepanjang hidupnya bersama Nabi, Khadijah begitu setia menemaninya dalam setiap peristiwa baik suka dan duka. Setiap kali suaminya ke Gua Hira’, Khadijah pasti menyiapkan semua perbekalan dan keperluan suaminya. Seandainya suaminya agak lama tidak pulang ke rumah, Khadijah akan melihat untuk memastikan keselamatan Nabi Muhammad. Sekiranya Nabi Muhammad khusyuk bermunajat, Khadijah tinggal di rumah dengan sabar sehingga Beliau pulang. Apabila suaminya mengadu kesusahan serta berada dalam keadaan gelisah, beliau coba sekuat mungkin untuk mententram dan menghiburkan, sehingga suaminya benar-benar merasai tenang. Setiap ancaman dan penganiayaan mereka dihadapi bersama. Kemudian Allah mengkaruniakannya 3 orang anak, mereka adalah Qasim, Abdullah, dan Fatimah.

Khadijah merupakan wanita yang sholehah, ia sangat berbakti kepada sang suami. Misalnya dalam banyak kegiatan pribadatan suaminya, Khadijah bisa dipastikan selalu bersama nabi Muhammad dan membantunya, sepertinya menyediakan air untuk berwudu suaminya. Sehingga sangat wajar jika dalam salah satu sabda Nabi muhammad, disebutkan keistimewaan Khadijah, “Di saat semua orang mengusir dan menjauhiku, ia beriman kepadaku. Ketika semua orang mendustakan aku, ia meyakini kejujuranku. Sewaktu semua orang menyisihkanku, ia menyerahkan seluruh harta kekayaannya kepadaku.”

Khadijah meninggal pada usia 64 tahun 6 bulan. ia menjadi istri nabi muhammad selama 24 tahun, hidup bersama nabi Muhammad, menemaninya dalam suka dan duka.

Itulah sepenggal Kisah Khadijah Istri Rasulullah, ia merupakan wanita sholehah yang patut menjadi taulana para wanita muslimah. Semoga para wanita dapat meneladani sifat-sifat Khadijah... Aamiin.

Rabu, 28 Agustus 2019

Kisah Kerinduan Seorang Ibu kepada Putrinya di Alam Kubur


Kisah Kerinduan Seorang Ibu kepada Putrinya di Alam Kubur

Dikisahkan, pada suatu masa ada seorang ibu yang ditinggal mati oleh anak perempuanya. Kesehariannya tiada yang menemani. Makan minumnya selalu dibayang-bayangi keadaaan sang putri.

Rasa kuatir akan keadaan putrinya di alam kubur semakin menyiksa. Hingga pada suatu hari sang ibu itu sowan kepada Imam Hasan yang pada masa itu adalah seorang alim.

“Wahai Imam Hasan, tolong berikan aku sebuah amalan agar aku bisa melihat keadaan putri ku di alam kubur sana,” pintanya.

“Apakah kamu benar-benar menginginkannnya?” jawab Imam Hasan memastikan.

“Benar,” ucap ibu tersebut dengan penuh keyakinan.

“Lakukanlah shalat 4 rakaat setelah shalat Isya. Pada setiap rakaat, selesai membaca Fatihah, bacalah surat At-Takasur. Setelah itu, menghadaplah ke arah barat laut dan bershalawatlah kepada Nabi Muhammad SAW hingga tertidur”

Ibu itu pun segera melaksanakan apa yang telah diberikan Imam Hasan. Dalam mimpinya ibu tersebut sungguh bertemu dengan sang putri, yang dimana keadaan putrinya sedang dalam keadaan disiksa. Tidak tega melihat kejadian itu, ibu itu pun terbangun dari mimpinya.

Keesokan harinya, sang ibu itu datang lagi kepada Imam Hasan dan menjelaskan apa yang menjadi hajatnya.

“Wahai Imam Hasan, kemarin saya sudah melaksanakan amalan yang engkau berikan. Dan saya benar-benar bertemu dengan putri saya dalam keadaan sedang disiksa. Tolong berikan saya amalan lagi agar putri saya terbebas dari siksanya.”

Lalu Imam Hasan menyuruh ibu tersebut untuk bersedekah yang pahalanya itu  di tujukan untuk sang putri.

Selang beberapa hari setelah sowannya ibu tersebut, Imam Hasan bermimpin dalam tidurnya. Dalam mimpi itu, Imam Hasan bertemu dengan seorang perempuan yang berada di sebuah singgasana yang dan di atas kepalanya terdapat mahkota yang berkilau. 

“Apakah engkau mengenalku wahai Imam Hasan?” tanya perempuan itu dalam mimpi Imam Hasan,

“Tidak. Lalu siapakah engkau?” tanya Imam Hasan.

“Aku adalah putri dari seorang ibu yang datang kepadamu,” jawabnya.  

“Tapi, apa yang diceritakan ibumu itu berbeda dengan yang sekarang aku lihat. Bagaimana itu bisa terjadi?” tanya Imam Hasan penasaran.

“Sesuai amalan yang engkau berikan kepada ibu saya, bersedekah yang pahalanya itu itu ditujukan kepadaku, dan amalan itulah yang membuatku terbebas dari siksa kubur. Tepat pada hari itu juga, ada seorang waliyullah yang bershalawat sebanyak 3 kali yang pahalanya itu ditujukan kepada ahli kubur, dan amalan itulah yang membuatku mulia seperti yang engkau lihat.” Cerita perempuan itu kepada Imam Hasan.

Lalu, Imam hasan-pun menceritakan mimpinya kepada ibu tersebut. Mendengar cerita Imam Hasan, ibu tersebut pun merasa lega dengan keadaan putrinya dialam kubur sana.

 

Kecerdasan Nabi Sulaiman dan Kisah Anak Diterkam Serigala

Menguji kepekaan perasaan kadang lebih akurat dalam memutuskan perkara sengketa. (Ilustrasi: NU Online/Mahbib)

Alkisah, ada dua orang wanita yang mengadukan perkara kepada Nabi Dawud ‘alaihissalam. Perkara mereka bermula saat salah seorang anak mereka diterkam serigala. Keduanya pun terlibat perselisihan dan saling klaim bahwa anak yang masih hidup adalah anaknya.  

 

Wanita yang lebih tua berkata, “Anakmu telah dimakan serigala. Dan ini anakku.” 

 

Wanita yang lebih muda pun tak mau kalah, “Justru yang dimakan serigala adalah anakmu. Dan ini anakku.” 

 

Berdasarkan pengaduan mereka dan bukti-bukti yang ada, Nabi Dawud ‘alaihissalam pun memutuskan bahwa anak yang masih hidup adalah anak wanita yang lebih tua, sedangkan anak wanita yang lebih muda telah diterkam serigala. 

 

Atas putusan itu, wanita yang lebih tua segera mengambil anaknya dengan penuh rasa senang. Sementara wanita yang lebih muda pulang sambil menahan kesedihan dan meratapi nasib yang dialaminya. Rupanya keadaan mereka berdua terlihat oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Beliau kemudian memanggil dan menanyai mereka. Mereka pun bercerita apa yang telah menimpa, termasuk apa yang telah diputuskan Sang Ayah Nabi Dawud ‘alaihissalam.

 

Nabi Sulaiman ‘alaihissalam memang dikenal seorang nabi yang memiliki pandangan tajam, diberi hikmah yang mendalam oleh Allah subhanahu wata’ala dan diajari bagaimana menjelaskan seruan-Nya. Dalam hati, beliau berpikir, “Yang dapat memutus perkara ini adalah perasaan yang lembut, bukan akal. Karena itu, aku akan meminta pandangan kedua wanita itu. Siapa yang kecintaannya lebih besar terhadap si anak, maka aku akan berikan anak itu padanya.” 

 

Kemudian, Nabi Sulaiman bertanya kepada mereka, “Masing-masing meyakini bahwa ini adalah anak kalian?” 

 

“Betul,” jawab mereka.   

 

“Dan kalian mengklaim itu adalah anak kalian?” 

 

“Betul sekali.”

 

“Sekarang berikanlah aku pisau tajam untuk membelah anak ini jadi dua!”

 

Sontak wanita yang lebih muda berteriak keras, “Jangan, jangan lakukan itu! Itu anak dia!” Sementara wanita yang lebih tua hanya diam. 

 

Akhirnya, wanita yang lebih muda merelakan anaknya diberikan kepada wanita yang lebih tua agar si anak bisa tumbuh bersamanya daripada harus dibelah dua. Dengan tumbuhnya si anak itu, walaupun bukan dalam asuhan dirinya, si wanita muda merasa lebih tenang. Memang, ibu mana yang tega melihat anaknya dibelah dua? Dari situ saja Nabi ‘alaihissalam bisa melihat, hingga kemudian beliau melirik kepada wanita yang lebih muda dan berkata, “Berarti itu adalah anakmu, ambillah!”

 

Demikian kisah yang disarikan dari hadits sahih yang diriwayatkan al-Bukhari dalam Shahîh-nya, tepatnya dalam Kitâb Ahâdîts al-AnbiyâBâb Tarjamah Sulaimân, jilid 6, hal. 458, nomor hadits 3427, juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitâb al-Aqdhiyah, Bâb Ikhtilâf al-Mujtahidîn, jilid 3, hal. 1344, nomor hadits 1720. 

 

Dari kisah hadits di atas dapat dipetik beberapa kesimpulan dan pelajaran bagi kita, di antaranya:  

 

1. Hadits di atas menyebutkan keutamaan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam sekaligus kekuatan pemahaman yang diberikan Allah kepadanya, serta kemampuan dalam melahirkan keputusan hukum yang tepat atas perkara-perkara yang samar dan memiliki kemiripan satu sama lain. 

 

2. Seorang hakim diperbolehkan menunjukkan suatu perbuatan yang sesungguhnya tidak ingin dilakukannya, seperti halnya Nabi Sulaiman meminta orang-orang di sekitarnya membawa pisau untuk membelah dua anak dari kedua wanita yang sedang berperkara. Sejatinya, Nabi Sulaiman tidak ingin membelah anak itu. Hanya saja, ia ingin menegakkan kebenaran. Bahkan, Imam al-Nasa’ memberi judul hadits ini dengan “Usaha hakim dengan mengatakan sesuatu yang tidak ingin dilakukannya, ‘Maka lakukanlah demi mengetahui kebenaran.’” (HR al-Nasai).        

 

3. Hadits ini boleh dijadikan dalil oleh seorang wanita untuk membatalkan keputusan hakim atau memilih keputusan hakim lain yang lebih unggul. 

4. Mencari bukti perkara yang diperselisihkan dengan sejumlah indikasi atau tanda, dianjurkan manakala tidak ada bukti-bukti yang jelas.

5. Kisah ini menunjukkan bahwa seorang hakim yang alim akan mendapatkan pahala, baik benar maupun salah. Allah sendiri telah mengakui Nabi Sulaiman sebagai hakim yang memahami hakikat dan substansi hukum. Meski demikian, Allah tetap memuji Nabi Dawud dan Nabi Sualaiman, tidak pula menyalahkan Nabi Dawud yang terbukti bersalah dalam menetapkan keputusan hukum. Simaklah firman-Nya berikut ini, Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya, (Q.S. al-Anbiyâ [21]: 79). 

6. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah menegaskan bahwa hakim yang benar dalam keputusan hukumnya akan mendapatkan dua pahala, sedangkan hakim yang salah akan mendapatkan satu pahala.  

 

7. Dengan ijtihad masing-masing, para nabi terbiasa mengadili perkara yang diajukan kepada mereka. Karena itu, tak mengherankan jika Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman berbeda dalam keputusan hukumnya. Andai mereka menetapkan dengan wahyu, tentu tidak akan terjadi perbedaan amar putusan. 

 
8. Kecerdasan dan pemahaman terhadap hukum tidak bergantung pada usia. Orang yang masih muda adakalanya lebih paham dan lebih menguasai masalah dibanding orang yang lebih sepuh. Contohnya, Nabi Sulaiman yang merupakan seorang anak lebih memahami perkara dibanding Nabi Dawud sebagai ayahnya. Begitu pula ‘Abdullah ibn ‘Umar lebih mampu menjawab pertanyaan yang diajukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibanding para sahabat senior. Padahal, di tengah para sahabat senior ada Abu Bakar al-Shidiq dan ‘Umar ibn al-Khathab. Demikian yang diriwayatkan oleh al-Bukhari.  (Lihat: Dr. Sulaiman al-Asyqar, Shahîh al-Qashash al-Nabawî, [Oman: Daru al-Nafa’is], 1997, cet. pertama, hal. 156).

Walllahu a’lam.     

        

Kisah Nabi Sulaiman dan Semut yang Berdoa Minta Hujan

Semut pun bisa menyindir manusia, apakah mereka benar-benar sanggup menjadi khalifah di bumi. (Ilustrasi: NU Online/Mahbib)

Dalam kitab Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Imam Ibnu Katsir mengutip sebuah riwayat dari Imam Ibnu Abu Hatim. Berikut riwayatnya:

 

وقد قال ابن أبي حاتم: حدثنا أبي، حدثنا محمد بن بشار، حدثنا يزيد بن هارون، أنبأنا مسعر، عن زيد العمي، عن أبي الصديق الناجي قال: خرج سليمان عليه السلام يستسقي، فإذا هو بنملة مستلقية على ظهرها، رافعة قوائمها إلى السماء، وهي تقول: اللهم إنا خلق من خلقك، ولا غنى بنا عن سقياك، وإلا تسقنا تهلكنا. فقال سليمان عليه السلام: ارجعوا فقد سقيتم بدعوة غيركم

 

Ibnu Abu Hatim berkata, ayahku bercerita kepadaku, Muhammad bin Basysyar bercerita, Yazid bin Harun bercerita, Mis’ar bercerita, dari Zaid al-‘Ama, dari Abu al-Shiddiq al-Naji, ia berkata:

 

Nabi Sulaiman ‘alaihissalam keluar (dari istananya) untuk meminta hujan. Tiba-tiba ia menjumpai seekor semut yang berbaring dengan punggungnya (terlentang), (dan) semua kakinya diangkat menghadap langit. Semut itu berdoa:

 

“Ya Allah, sesungguhnya kami adalah salah satu dari makhluk-Mu. Kami sangat memerlukan guyuran air (hujan)-Mu. Jika Kau tidak mengguyuri kami (dengan air hujan-Mu), Kau akan membuat kami binasa.” 

 

Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata: “Pulanglah, sudah ada (makhluk lain) selain kalian yang berdoa meminta hujan.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Riyadh: Dar Thayyibah, 1999, juz 6, h. 184)

 

Kisah di atas cukup menarik, karena menjelaskan banyak hal, terutama soal pengaruh tasbih dan doa makhluk Allah lainnya kepada alam semesta. Untuk lebih mudah memahaminya, kita perlu menengok riwayat lain yang membicarakan kisah di atas.

 

Dalam Tarîkh Madînah Dimasyq terdapat beragam riwayat dengan redaksi yang berbeda-beda. Salah satu contohnya adalah ucapan Nabi Sulaiman di akhir riwayat. Di jalur periwayatan Ghalib bin Abdullah, dari al-Suddi, Nabi Sulaiman mengucapkan:

 

إرجعوا فقد استُجِيب لكم بدعاء غيركم

 

“Kembalilah, sungguh telah dikabulkan untuk kalian doa (meminta hujan yang dipanjatkan) oleh selain kalian (semut).” (Imam Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, Beirut: Dar al-Fikr, 1995, juz 22, h. 288)

 

Di riwayat lain, jalur periwayatan Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari al-Zuhri, Nabi Sulaiman mengatakan pada para sahabatnya (li ashâbihi):

 

إرجعوا فقد سُقيتم إن هذه النملة استسقت فاستجيب لها

 

“Pulanglah, sungguh telah ada yang memintakan hujan untuk kalian. Sesungguhnya semut ini telah berdoa meminta hujan, kemudian doanya dikabulkan.” (Imam Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, 1995, juz 22, h. 288)

 
Perkataan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam menunjukkan bahwa peran makhluk Allah non-manusia sangat besar untuk alam semesta. Selama ini kita mengabaikan peran mereka, baik dalam keseimbangan alam maupun keseimbangan lainnya. Keseimbangan alam yang dimaksud di sini adalah, misalnya populasi cicak, ikan, atau kadal berkurang secara drastis, maka populasi nyamuk akan semakin besar, karena keseimbangan telah berubah dengan semakin berkurangnya binatang pemakan jentik nyamuk. Ini sekedar contoh.

Dengan membaca perkataan Nabi Sulaiman, kita jadi tahu peran lain mereka yang tidak kalah dengan manusia. Bisa jadi, merujuk kisah di atas, hujan yang turun di lingkungan kita hasil dari doa mereka, ibadah mereka dan tasbih mereka. Dalam salah satu riwayat diceritakan, ketika meminta diturunkan hujan, semut itu berdoa (riwayat Ka’b al-Akhbar):

 

اللهم إنَّا خلق من خلقك ولا غني لنا عن رزقك فأنزل علينا غيثك ولا تؤاخذنا بذنوب عبادك

 

Ya Allah, sesungguhnya kami salah satu dari makhluk-Mu. Kami sangat membutuhkan rezeki-Mu. Mohon turunkanlah kepada kami hujan-Mu, dan jangan hukum kami dengan dosa-dosa hamba-hamba-Mu.” (Imam Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, 1995, juz 22, h. 287)

 
Di riwayat lain, semut itu berdoa (riwayat Abu al-Shiddiq al-Naji):

اللهم إنا خلق من خلقك لا غني بنا عن رزقك فلا تهلكنا بذنوب بني آدم

 

Ya Allah, sesungguhnya kami salah satu dari makhluk-Mu yang sangat memerlukan rezeki-Mu. Maka, jangan Kau binasakan kami sebab dosa-dosa anak cucu Adam (manusia).” (Imam Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, 1995, juz 22, h. 287)

 

Dalam doanya, semut tersebut memilih diksi yang menarik, yaitu, “jangan hukum kami dengan dosa-dosa hamba-Mu” dan, “jangan binasakan kami sebab dosa-dosa anak cucu Adam.” Ini artinya, bisa jadi semut atau binatang lain adalah penolong kita dari kesusahan. Karena kita sebagai manusia membawa beban dosa, yang mungkin saja dosa tersebut menjadi penghalang terkabulnya doa kita. Atas dasar ini, kita harus memperlakukan makhluk hidup non-manusia dengan baik. Andaipun mereka tidak memiliki empati terhadap manusia, paling tidak dengan kebutuhan mereka sebagai makhluk hidup, mereka akan memohon kepada Allah, dan kita manusia turut mendapatkan berkahnya.

 

Di sisi lain, diksi doa tersebut seharusnya membangunkan kita dari kelalaian. Kita harus malu bahwa di taraf tertentu, semut atau binatang lain menganggap kesengsaraan mereka disebabkan oleh manusia. Karena sebagai makhluk terbaik, manusia lebih sering berdosa daripada beramal; lebih sering menuntut daripada memohon ampun; lebih sering meminta daripada memberi, dan seterusnya. Melihat manusia yang sedemikian kacau, semut-semut itu enggan menanggung beban hukuman yang mereka tidak terlibat di dalamnya, sehingga mereka memilih diksi doa yang membawa-bawa dosa manusia.

 

Karena itu, sebagai manusia, kita harus buktikan pada semut-semut itu bahwa kita adalah khalifah Allah di muka bumi, pemegang amanat Tuhan untuk melestarikan bumi dan menjaganya dari kerusakan. Buktikan bahwa kita bisa menghindari banyak dosa, dari mulai dosa individu, dosa sosial, sampai dosa ekologis. Karena merusak alam adalah dosa, dan membiarkan kerusakannya adalah dosa, meski bukan kita yang melakukannya. Allah berfirman (QS. Al-A’raf: 56) 

 

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

 

Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”

 

Pertanyaannya, sudahkah kita berusaha? 

Wallahu a’lam bish shawwab..

 

 

 

Ketika Nabi Daud Bingung Cara Bersyukur kepada Allah

Kerendahan hati sangat dibutuhkan dalam bersyukur kepada Allah

Dalam kitab al-Zuhd, terdapat dua riwayat yang bercerita tentang Nabi Daud dan pertanyaannya kepada Allah tentang bagaimana caranya bersyukur. Berikut riwayatnya:

 

حدثنا عبد الله حدثني أبي حدثنا عبد الرحمن حدثنا جابر بن زيد عن المغيرة بن عيينة قال: قال داود عليه السلام يا رب هل بات أحد من خلقك الليلة أطول ذكرًا لك مني فأوحي الله عز وجل إليه نعم الضفدع وأنزل الله عليه: اعلموا آلَ دَاوُدَ شكرًا وقليل مِنْ عِبَادِيَ الشّكور (سورة سبأ: 13)

 

قال: يا رب كيف أطيق شكرك وأنت الذي تنعم عليّ ثم ترزقني علي النعمة ثم تزيدني نعمة نعمة فالنعم منك يا رب والشكر منك فكيف أطيق شكرك يا ربّ, قال: الآن عرفتني يا داود حق معرفتي

 

Abdullah bercerita, ayahku bercerita kepadaku, Abdurrahman bercerita, Jabir bin Zaid bercerita dari al-Mughirah bin ‘Uyainah, ia berkata:

 

Nabi Daud ‘alaihissalam berujar: “Wahai Tuhan, apakah ada salah satu makhluk-Mu yang banyak berdzikir kepada-Mu di malam hari melebihi aku?”

 

Kemudian Allah memberitahu Daud: “Ya, (ada), yaitu katak.” Dan Allah menurunkan (firman-Nya) kepada Daud (QS. Saba’: 13): “Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” 

 

Nabi Daud berkata: “Duh Tuhan, bagaimana mungkin aku mampu bersyukur kepada-Mu sementara Kau yang memberiku nikmat, kemudian Kau yang memberi rezeki kepadaku atas nikmat itu, kemudian Kau yang menambahiku nikmat demi nikmat. Karena (segala) nikmat berasal dari-Mu, wahai Tuhan, dan syukur berasal dari-Mu. Maka, bagaimana mungkin aku mampu bersyukur kepada-Mu, wahai Tuhan.”

 

Allah berfirman: “Sekarang kau telah mengenal-Ku, wahai Daud, benar-benar mengenal-Ku.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 88-89)

 

عن أبي الجلد، عن مسلمة أَنَّ دَاوُدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عليه وَسَلَّمَ قَالَ: إِلَهِيْ، كَيْفَ لِيْ أَنْ أَشْكُرَكَ، وَأَنَا لَا أَصِلُ إِلَى شُكْرِكَ إِلَّا بِنِعْمَتِكَ؟ فَأَوْحَى اللهُ إِلَيْهِ: يَا دَاوُدُ، أَلَسْتَ تَعْلَمُ أَنَّ الَّذِيْ بِكَ مِنَ النِّعَمِ مِنِّيْ؟ قَالَ: بَلَى، أَيْ رَبِّ، قَالَ: فَإِنِّيْ أَرْضَى بِذَلِكَ مِنْكَ شُكْرًا

 

Dari Abu al-Jald, dari Maslamah, sesungguhnya Nabi Daud shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Tuhanku, bagaimana mungkin aku bisa bersyukur kepada-Mu, sementara aku tidak akan sampai bersyukur kepada-Mu kecuali dengan nikmat-Mu juga?”

 

Kemudian Allah memberitahu Daud: “Wahai Daud, bukankah kau tahu bahwa yang ada pada dirimu merupakan bagian dari nikmat-nikmat-Ku?”

 

Nabi Daud menjawab: “Benar, wahai Tuhanku.”

 

Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku telah meridhai syukurmu itu.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 91-92)

Memiliki kesempatan bersyukur adalah nikmat, dan mensyukuri nikmat adalah nikmat. Begitulah gambaran sederhana dari riwayat di atas, bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Tidak ada satu pun di dunia ini yang tidak berasal dari-Nya. Namun, manusia kadang lalai dengan kemakhlukannya. Ia lupa bahwa dirinya makhluk yang diadakan oleh Allah, bukan ada dengan sendirinya. Ketika manusia melupakan kemakhlukannya, ia akan mudah dilalaikan oleh sesuatu. Untuk lebih jelasnya, simak uraian singkatnya berikut ini.

 

Riwayat di atas dimulai dengan Nabi Daud yang selalu terjaga sepanjang malam untuk berdzikir kepada Allah. Meski demikian, ia diingatkan bahwa ada makhluk lain yang dzikirnya lebih banyak darinya, yaitu katak. Kemudian Allah memerintahkan Daud dan keluarganya untuk memperbanyak syukur kepada-Nya.

 

Artinya, sebanyak apapun ibadah seseorang, harus dibarengi dengan syukur. Tanpa itu, ibadahnya dikhawatirkan hanya akan menghasilkan bibit takabur dan ujub. Ini menunjukkan bahwa bersyukur adalah pengingat akan kemakhlukan kita, bahwa kita harus berterima kasih dengan apapun yang Allah berikan kepada kita. Dengan melupakan terima kasih (syukur), kita akan terjebak dalam lingkaran ujub dan takabur. Itulah kenapa Allah menyuruh Daud dan keluarganya untuk bersyukur.

 

Di sisi lain, katak dalam riwayat di atas perlu kita pahami sebagai simbol pengingat, bahwa kita tidak lebih mulia dari siapapun, bahkan dengan makhluk Tuhan non-manusia. Simbol yang mengajarkan kita agar tidak mudah membandingkan amal ibadah kita dengan makhluk Tuhan lainnya. Karena perbandingan amal seringkali berujung pada anggapan mulia diri (takabbur/ujub) yang akan menjebak kita.

 

Inilah yang perlu kita hindari. Salah satu caranya dengan memperbanyak syukur kita kepada Allah. Pintu pembukanya adalah pemahaman bahwa sebanyak apapun syukur kita, tidak mungkin mendekati, apalagi menyamai nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Seperti yang diungkapkan Nabi Daud ‘alaihissalam di atas, bahwa bersyukur sendiri adalah nikmat dari Tuhan, maka ‘bagaimana mungkin ia mampu bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya itu’. 

Hal ini menunjukkan adanya ketidak-seimbangan antara anugerah yang diterima dan syukur yang dirasakan dan dipanjatkan oleh seseorang. Kebanyakan dari kita lalai akan kehadiran nikmat Allah. Kita lalai bahwa waktu adalah nikmat; sehat adalah nikmat; merasa adalah nikmat, dan semuanya adalah nikmat. Kelalaian ini sudah diperingatkan oleh Nabi Muhammad jauh-jauh hari, terutama soal nikmat sehat dan waktu luang. Beliau bersabda (HR. Imam al-Bukhari):

 

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

 

Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia lalai; nikmat sehat dan nikmat waktu luang.” 

 

Kembali ke soal ketidak-seimbangan anugerah dan syukur. Untuk memahaminya, kita harus memperhatikan munajat indah Nabi Daud berikut ini:

 

إِلَهِيْ، لَوْ أَنَّ لِكُلِّ شَعْرَةٍ مِنِّيْ لِسَانَيْنِ، يُسَبِّحَانِ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ، وَالدَّهْرَ كُلَّهُ، مَا قَضَيْتُ حَقَّ نِعْمَةٍ

 

Ilahi, sungguh, andai saja setiap rambutku memiliki dua lidah yang selalu bertasbih siang dan malam, dan (bertasbih) setiap waktu, aku belum menunaikan satu pun hak nikmat (yang Kau berikan kepadaku).” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, h. 88)

 

Artinya, bertasbih sepanjang hidup, dengan dibantu setiap helai rambut yang memiliki dua lidah, dan keduanya bertasbih siang-malam dan setiap saat, itu masih jauh dari cukup untuk memenuhi hak satu nikmat yang Allah berikan. Bayangkan saja, rambut manusia yang jumlahnya sukar dihitung, dikalikan dua (lidah), dan bertasbih sepanjang waktu sampai mati, masih tidak cukup untuk memenuhi hak satu nikmat dari Allah.

 

Karena itu, kerendahan hati (tawaddu’) sangat dibutuhkan dalam bersyukur kepada Allah. Kebingungan Nabi Daud dalam bersyukur menunjukkan kerendahan hatinya, bahwa tidak mungkin mensyukuri nikmat Tuhan dengan hitungan matematis, atau dengan menghitung amal ibadah yang dilakukannya. Sebab, bisa beribadah sendiri adalah nikmat, sehingga mustahil menghitung anugerah Allah dengan angka. Jika seseorang melakukan perhitungan itu, dan merasa dirinya sebagai orang yang banyak ibadahnya, bisa jadi ia akan kehilangan makna syukur.

 

Maka dari itu, dalam riwayat di atas, Allah menjawab kebingungan dan ketidak-mampuan Nabi Daud dengan mengatakan, “Sesungguhnya Aku telah meridhai syukurmu itu,” dan di riwayat lain, “Sekarang kau telah mengenal-Ku, wahai Daud, benar-benar mengenal-Ku.”

 

Pertanyaannya, pernahkah kita bersyukur dengan kerendahan hati?

 

Wallahu a’lam bish shawwab..