Senin, 19 Agustus 2019

TENTANG BACAAN  شَيْءٌ لِّلهِ الفَاتِحَ

TENTANG BACAAN  شَيْءٌ لِّلهِ الفَاتِحَ

Dalam setiap acara tahlilan, dhiba'an dan barzanji seringkali kita jumpai seorang yang berlaku sebagai pemimpin berkata شيء لله الفاتحة. Entah kalimat itu disebutkan sebelum membaca al-Fatihah sebagai agenda pembukaan atau dibacakan setelah menyebutkan rentetan nama arwah yang akan do'akan.

Secara bahasa klimat شيء لله الفاتحة adalah dua kalimat yang berbeda. kalimat pertama terdiri dari شيء لله yang bermakna bawa"Semua dilakukan karena Allah" dan kalimat kedua adalah الفاتحة yaitu al-Fatihah sebagai nama surat pembuka al-Qu'an. Oleh karena itu, jika digabungan maka kalimat شيء لله الفاتحة dapat diartikan bahwa 'semua yang kita lakukan hanyalah karena Allah, (begitu juga dengan bacaan) al-fatihah'.Sebenarnya

tidak ada anjuran untuk mengucapkan kalimat tersebut, juga tidak ada larangan untuk meninggalkannya. Dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin terdapat pernyataan yang menyebutkan bahwa kalimat "شيء لله الفاتحة" hanyalah sebuah tradisi,

يا فلان شيء لله غير عربية لكنها من مولدات أهل العرف

Hai Fulan, kalimat "شيء لله" bukanlah bahasa arab, melainkan lahir dari sebuah tradisi.

Sedangkan sebuah tradisi bisa dijadikan hukum dengan catatan tidak bertentangan dengan Syari'at Islam yang berlandaskan Al Quran dan Hadits. Demikian dalam qaidah fiqhiyyah disebutkan:العادة محكمةKebiasaan atau tradisi itu bisa dijadikan landasan hukum .



MEROKOK DEKAT ORANG YANG BACA AL-QUR'AN

Tidak henti-hentinya perdebatan tentang hukum merokok antara ulama' salaf (tradisional) dan ulama' khalaf (sekarang), sebagian dari mereka berpendapat haram dan sebagian yang lain menghukuminya dengan makruh, tapi dengan catatan bahwa hukum makruh tersebut condong kepada hukum haram.

Sedangkan sebagian besar para ulama' telah menyepakati hukum haram merokok ditempat-tempat yang diangungkan atau dianggap mulia, seperti Masjid, Halaqoh pembaca Hadits-hadits Nabawi, Majlis Ilmi dan yang lainya.Wajar saja, mengingat tempat-tempat tersebut memiliki nilainya tersendiri. Sehingga menuntut siapapun yang memasuki kalangan tersebut harus tunduk pada etika dan norma yang berlaku.

Oleh karena itulah Islam melarang merokok di ruang tersebut, karena dianggap tidak etis dan tidak menghormati tempat itu. Allah berfirman

في بيوت أذن الله أن ترفع ويذكر فيها اسمه (النور:36)

Rumah-rumah Allah adalah untuk menyuarakan nama-Nya dan mengingat-Nya.

Demikianlah keterangan Rasulullah saw dalam hadisnya riwayat Aisyah yang mendasari haramnya merokok di dalam Masjid yang merupakan rumah Allah

أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم ببناء المساجد في الدور أن تنظف وتطيب

Rasulullah memerintahkan membangun Masjid-masjid untuk diindahkan dan dijaga kebersihannya.

Dalam kitab Fatawa Isma'il Zain menuturkan tentang hukum merokok didekat orang yang sedang membaca Kitab Suci Al Quran adalah haram, karena hal tersebut termasuk kategori su'ul adab (etika buruk) dan tidak memuliakan tempat-tempat yang dimuliakan

إذا كان بحضرة قراءة القرأن فإن شرب الدخان فيه حينئذ حرام لما فيه من سوء الأدب والإستهتار بمجالس العظيم

Merokok didekat orang yang sedang membaca Al Quran hukumnya adalah haram, karena hal tersebut merupakan su'ul adab dan tidak memuliakan tempat-tempat yang dianggap mulia.



KETIKA SUAMI - ISTRI BERGURAU

Suami jangan sekali-kali main tangan kepada istri. Begitupun sebaliknya. Main tangan artinya mendaratkan pukulan atau tamparan di bagian manapun juga. Terlebih lagi kalau sudah main kayu atau senjata tajam dengan aneka rupanya. Ini dapat membahayakan keduanya sekaligus orang banyak.

Alasan main tangan tentu bisa beraneka rupa. Makna harfiahnya, alasan itu bisa dikumpulkan sebanyak-banyaknya kalau mau memikirkan semalam suntuk. Kalau tidak mau serius, ambil saja alasan apapun yang melintas di kepala. Ini kerjaan paling ringan.

Perilaku baku hantam atau main tempeleng ini bisa dijadikan contoh buruk oleh anak-anak mereka. Atau sebaliknya, anak-anak memiliki nilai kemanusiaannya sendiri. Rasa iba timbul. Akibatnya, harga diri orang tua jatuh merosot tanpa bisa dihargai barang sepeser pun di mata anak mereka.

Sedangkan suami itu sejatinya harus memperlakukan istri dengan baik. Demikian pula istri. Keduanya harus saling bersikap lembut. Kalau bisa bicara dengan santun dan menyenangkan, kenapa harus memilih bentak-bentak atau teriak seolah pasangannya mengalami gangguan pendengaran?

Perihal sikap dan perilaku keseharian suami-istri ini memiliki sangkut-paut dengan urusan keimanan. Tidak main-main; keimanan. Jangan sampai Tuhan menilai rendah mutu keimanan hanya karena seseorang membanting pintu keras-keras akibat jengkel terhadap pasangannya. Rendahnya mutu keimanan itu sama murahnya dengan ongkos bis kota di Jakarta dengan jaminan keselamatan ala kadarnya. Ala kadarnya bisa diartikan, tanpa jaminan keselamatan.

Rasulullah SAW mengimbau suami-istri untuk pandai menghibur dan membahagiakan pasangan. Gurauan dan humor-humor ringan sangat dibutuhkan. Jangan sampai komunikasi berjalan adem tanpa letupan tawa bahagia. Rumah seperti ini bisa dikira tetangga sebagai rumah kosong atau sekurang-kurangnya seperti museum. Dingin.

Dalam kitab al-Azkar, Imam Nawawi menyebutkan hadis di bawah ini.

Dalam kitab hadis Turmudzi dan Nasa’i, Siti A‘isyah RA meriwayatkan sabda Rasulullah SAW, “Orang beriman yang imannya paling sempurna ialah mereka yang paling baik berakhlak dan paling lembut (murah senyum) kepada keluarganya.”


TIGA TINGKATAN SHOLAT SUNNAH

Seperti diketahui bahwa selain fardhu lima waktu, ada beberapa shalat tambahan yang sering disebut dengan shlat nawafil  yang dalam bahasa indonesia bisa diterjemahkan sebagai shalat tambahan. Jika diperhatikan secara sekasama ternyata shalat nawafil ini ada beberapa tingkatan pertama sunnah, kedua mustahab, ketiga tathawwu’

Meskipun ketiganya sering dikategorikan sebagai shalat sunnah, tetapi pada hakekatnya memiliki perbedaan. Dalam kitab Asrarus Shalat min Rub’il Ibadat, Imam Ghazali menerangkan bahwa yang dimaksud dengan shalat sunnah adalah shalat yang dinukil secara langsung dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang mana beliau melakukannya secara terus menerus. Misalnya shalat rawatib yang mengiringi shalat fardhu (shalat sunnah qabliyah dan shalat sunnah ba’diyah), shalat dhuha, shalat tahajjud, shalat witir dan sebagainya.

Adapun yang dimaksud dengan shalat mustahabadalah shalat yang keutamaannya dijelaskan dalam hadits, tetapi tidak ada keterangan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallammelaksanakannya secara terus menerus. Seperti shalat sebelum keluar dari rumah, shalat setelah datang dari bepergian, shalat pada beberpa malam dan hari tertentu (shalat sunnah malam ahad, shalat sunnah hari senin) dan lain sebagainya.

Sedangkan keterangan tentang shalat tathawwu’, adalah shalat selain itu semua yaitu shalat yang tidak ada keterangan dalam hadits maupun atsar. Tetapi seorang hamba melakukannya sebagai munajat kepada Allah swt. Begitulah yang dilakukan oleh seorang hamba yang ingin mendekatkan diri kepada Allah secara tulus ikhlas menyerahkan diri (tabarru’).

Ketiga kategori ini adalah ungkapan teoritis yang menurut Imam Ghazali tidaklah berpengaruh bila terjadi kesalahan penyebutan karena yang terpenting adalah pemahamannya. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar